MEDIATIPIKOR.COM | Ketegangan antara warga Gampong Titi Poben, Kecamatan Trumon Timur, dan PT Asdal Prima Lestari kembali memuncak. Puluhan warga turun ke lokasi dan memblokir alat berat perusahaan, Rabu, 5 November 2025. Ekskavator milik perusahaan sawit itu didapati tengah membuka lahan yang mereka klaim milik masyarakat.
Bukan insiden pertama, melainkan satu dari sekian banyak kejadian yang terus berulang selama bertahun-tahun. Seolah tak mengenal kata jera, perusahaan yang mengantongi izin perkebunan itu dituding berulang kali memperluas areal tanamnya melewati batas konsesi.
Warga menyebut, PT Asdal telah merambah lahan yang sejak lama mereka garap secara turun-temurun. Namun suara keberatan masyarakat kerap tak dihiraukan.
“PT Asdal jangan arogan. Jangan serobot lahan warga sewenang-wenang hanya karena merasa kuat dengan alat berat dan izin di tangan,” tegas Adi Samrinda, perwakilan warga sekaligus anggota DPRK Aceh Selatan dari Fraksi Partai Aceh, kepada Media ini beberapa hari lalu
Menurut Adi, perilaku perusahaan sudah berada di titik yang tidak dapat ditoleransi. Ia menyebut PT Asdal seolah kebal hukum, sementara warga hanya bisa menyaksikan tanah mereka dikeruk tanpa perlindungan penuh dari negara.
“Setiap kali warga protes, tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk duduk bersama. Ini bentuk kesewenang-wenangan yang nyata,*” ujarnya geram.
Adi memperingatkan, jika aksi perusahaan tidak dihentikan, pemerintah daerah ikut menciptakan preseden buruk dalam tata kelola perkebunan di Aceh Selatan.
“Ketika perusahaan bebas melanggar tanpa sanksi, itu sama saja mengajarkan perusahaan lain untuk berbuat hal yang sama,” katanya.
Ia mendesak Bupati Aceh Selatan bersama Pemerintah Aceh segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin perkebunan sawit di wilayah tersebut.
“Perusahaan yang melanggar batas konsesi dan menyerobot lahan rakyat harus dicabut izinnya. Jangan hanya ditegur – beri sanksi nyata agar ada efek jera,” tegas Adi.
Ia juga menyoroti absennya program plasma dan tanggung jawab sosial (CSR) yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan. Menurutnya, sejak beroperasi, PT Asdal tidak pernah sekalipun merealisasikan program tersebut.
“Sejak berdiri, satu batang pun plasma tidak pernah ada di Aceh Selatan. Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal martabat warga dan masa depan tata kelola perkebunan kita,*” ujarnya.
Adi menegaskan, jika keadilan tak segera ditegakkan, masyarakat akan menuntutnya dengan cara mereka sendiri.”(Tjut)
